Kisah
tentang keberanian, keromantisan, dan religiositas.
Dalam
satu pertempuran penting pada masa-masa awal Islam, seorang pemuda menyongsong
Ali dengan berapi-api, matanya tajam, kedua ujung alisnya hampir berpautan, dan
tangannya mengayunkan pedang. Mereka lalu berhadap-hadapan.
“Kau
tidak tahu siapa aku?!” kata Ali.
“Ah, bodoh! Aku Ali! Kau tidak akan mampu
mengalahkanku.
Kenapa kau masih nekat?”
“Karena
aku sedang jatuh cinta,” kata pemuda itu. “Dan, kekasihku berkata jika aku
mampu membunuhmu, dia akan menjadi milikku sepenuhnya.”
“Tapi,
jika kita berduel, kemungkinan justru aku yang akan membunuhmu.”
“Adakah
yang lebih indah selain terbunuh demi cinta?!”
Ali
tersentak. Penuturan si pemuda membuat hatinya luluh. Kepalanya meluruh. Ali
melepas helm besinya lalu menjulurkan lehernya.
“Tebas
aku di bagian ini,” kata Ali seraya menunjuk lehernya.
Barangkali
hati pemuda itu penuh gejolak yang sesungguhnya tak ia pahami. Seseorang yang
jatuh cinta terkadang memang enggan menggunakan pikiran panjang dan jernih.
Namun, adakalanya hanya perlu sedikit hal––yang terkadang tak terpikirkan––untuk
menyadarkannya.
Melihat
kesediaan Ali untuk mati demi orang yang bersedia mati demi cinta, giliran hati
pemuda itu terbakar dan luluh. Seolah-olah ada sesuatu yang halus yang merasuki
hatinya, mengubah cintanya kepada wanita menjadi sesuatu yang lebih tinggi:
cinta kepada Pencipta. Pemuda biasa yang sedang galau itu menjadi seorang sufi
tecerahkan.
sumber : http://penerbitzaman.com
Lovely post dear Anisa.Have a nice weekend :)
ReplyDelete