Sebelum
kedatangan Islam, Persia ( Iran ) telah terkenal dengan kemajuan sastranya.
Setelah kedatangan Islam, sastra Persia kemudian mengalami proses asimilasi
dengan nilai-nilai Islam sehingga melahirkan corak sastra baru.
Dua
corak sastra yang berkembang di Persia setelah kedatangan Islam, yaitu sastra
sufistik dan sastra non sufistik.
Sanai
"Di pintu-Nya apa bedanya antara seorang muslim dan kristen,
orang baik dan pembunuh?
Di pintu-Nya kita semua adalah pencari dan Dia adalah yang dicari"
( Sanai )
Nama
lengkapnya adalah Abu Al-Majd Majdud Sanai. Lahir di Ghazni. Sanai hidup
sekitar 462-534 H/ 1070-1140 M. Pada masa muda Sanai dikenal sebagai penyair
madah ( pujian ), yang membuat sajak-sajak pujian di istana sultan Ghazni.
Selain
Sanai dekat dengan orang-orang yang berada di lingkungan istana, ia juga
menjalani hubungan dekat dengan para filsuf dan sufi. Dunia tasawuf yang erat
hubungannya dengan sufi inilah di kemudian hari membawanya pada sebuah
keputusan untuk meninggalkan kehidupan istana yang penuh dengan kemegahan.
Bahkan
ia sama sekali tidak terbujuk oleh Bahramsyah, penguasa Ghazni ke-15 yang ingin
mengawinkannya dengan adiknya. Ia sudah memutuskan untuk menjalani hidup
layaknya seorang sufi.
Akhirnya
Sanai pun pergi ke Balkh, dan kota-kota lainnya di Khurasan. Menjelang akhir
hidupnya, Sanai kembali ke Ghazni, tapi tidak tinggal di istana.
Dari
tangannya lah lahir epos sufi, dan mengukir namanya sebagai seorang penyair dan
sufi persia yang pertama menulis dalam bahasa persia. Maulana jalaludin rumi,
seorang sufi dan penyair yang termasyhur di turki, menyanjung Sanai seperti: “kalau
Attar adalah rohnya, maka Sanai adalah matanya”
Karya Sanai:
Hadiqah Al-Haqiqah
(Taman Hakikat ), berupa puisi
filsafat, akhlak, agama, dalam bentuk masnawi terdiri dari tiga puluh ribu
baris yang bersifat adiktif.
Karya
Sanai ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh J.Stephenson pada tahun 1911 yang
diberi judul “The First Book of Hadiqatul
Haqiqah”.
Lima
puisi masnawi
Kumpulan
puisi ghazal
Berikut
beberapa cuplikan syair dari Sanai :
Menjadi diam
Jalan
agama adalah baik dalam pekerjaan ataupun
kata-kata;
ada
tidak ada bangunan diatasnya, tetapi hanyalah kesedihan.
Siapa
saja menjadi diam untuk mengejar jalan;
ucapannya
adalah kehidupan dan kemanisan;
Jika
ia berbicara, itu tidak akan keluar dari kebodohan;
dan
jika dia diam, itu tidak akan keluar dari kemalasan.
Ketika
diam, dia tidak merancang kesembronoan;
ketika
berbicara,dia tidak menyebar luaskan pembicaraan yang sepele.
( Sanai_ Menjadi Diam )
Ikutilah jalan
Jangan
berbicara dari rasa sakit hatimu, karena Dia sedang berbicara
Jangan
mencarinya, karena Dia sedang mencari
Dia
merasakan bahkan sentuhan kaki dari seekor semut,
Jika
sebuah batu berpindah di bawah air, Dia tahu itu
Jika
ada seekor cacing di dalam sebuah batu,
Dia
tahu tubuh itu,
Lebih
kecil dari sebuah atom
Suara
dari pujian dan penglihatan yang tersembunyi
itu,
Dia
mengetahui lewat pengetahuan ilahi-Nya,
Dia
telah memberi cacing nafkah untuknya,
Dia
telah menunjukkan padamu jalan pengajaran
( Sanai – Ikutilah Jalan )
Berusahalah
untuk menemukan misteri
Sebelum
hidup mengambilmu,
Jika
kau gagal untuk menemukan dirimu,
Untuk
mengenal dirimu sendiri,
Bagaimana
kamu akan mampu mengerti rahasia
Dari
keberadaanmu setelah kamu mati?
Di cermin penyimpangan pikiranmu,
seorang malaikat terlihat memiliki
wajah setan
Di cermin penyimpangan pikiranmu,
seorang malaikat terlihat memiliki
wajah setan
Anekdot Kisah Si Tolol dan Seekor
Onta
Seorang
tolol memperhatikan seekor onta yang sedang makan rumput. Katanya kepada
binatang itu,
“tampangmu
mencong. Kenapa begitu?”
Onta
menjawab,
“Dalam
menilai kesan yang timbul, kau mengaitkan kesalahan dengan hal yang mewujudkan
bentuk. Hati-hatilah terhadap itu. Jangan menganggap wajahku yang buruk sebagai
suatu kesalahan.
Pergi kau menjauh dariku, ambil jalan pintas.
Tampangku
mengandung arti tertentu, punya alasan tertentu.
Busur
memerlukan yang lurus dan bengkok, pegangannya dan talinya. Orang tolol
enyahlah, pemahaman keledai sesuai dengan sifat keledai.”
Fariduddin Attar
Nama
aslinya adalah Abu Thalib atau Abu Hamid, dengan gelar Fakhruddin. Nama Attar
yang digunakannya adalah nama samaran yang diambil dari profesinya sebagai ahli
farmasi ( al-attar ) dan juga sebagai
seorang dokter ( tabib ). Ia juga
seorang pemikir dan penulis yang sangat produktif.
Attar
lahir di Nisabur, bagian timur laut Persia sekitar tahun 513 H / 1119 M. Pada
masa mudanya ia mengembara ke berbagai negara, seperti Mesir, Suriah, Hijaz,
India, dan Asia tengah, lalu menetap di tanah kelahirannya kembali.
Karya Attar :
Mantiq at-Tair
( Logika Burung ), berupa sajak
alegoris pengalaman religius kaum sufi.
Burung
– burung yang dimaksud dalam karyanya adalah kaum sufi.
Logika burung
Dipimpin
oleh burung Hud-Hud,burung-burung di dunia ditetapkan untuk mencari raja
mereka, Simurgh. Pencarian mereka membawa melewati 7 lembah pada bagian pertama
dari 100 kesulitan yang menyerang mereka. Mereka menjalani banyak ujian ketika
mereka mencoba membebaskan diri dari apa yang berharga untuk mereka dan
mengubah keadaan mreka. Setelah berhasil dan dengan penuh kerinduan, mereka
meminta anggur untuk memudarkan akibat dari dogma kepercayaan dan ketidak
percayaan pada kehidupan mereka.
(
Attar – Cuplikan dari “Logika Burung” )
Karyanya
ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis pada tahun 1863 oleh J.H Garcin
de Tassy dengan judul “Le Langage Des Oiseaux”. Kemudian disusul dengan
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh S.C Noot pada tahun 1955 dengan judul
“ The Conference of The Birds”.
Sebelumnya
pernah diringkas oleh Edward Fitz Geral pada tahun 1883 dengan judul “Bird
Parliament.”
Tadzkirah Al-Auliya,
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia
Dari
masing-masing, cinta menuntut kesunyian yang mistik;
apakah
semuanya mencari bersungguh-sungguh? Cinta-Nya.
cinta
adalah subjek pikiran terdalam mereka;
didalam
cinta tidak lagi “kamu” dan “aku” ada
untuk
dirinya sendiri ia telah mati didalam kekasih
Tuhan
adalah diluar semua pengetahuan manusia
hanya
Dia yang bisa membuka jalannya
bukan
kebijaksanaan manusia
Selama
39 tahun dia menulis puisi dan menyusun petuah-petuah para sufi. Attar
menghabiskan usia senja nya di tanah suci, Makkah.
Nizami
“Cinta
yang tiada abadi,
hanyalah
permainan indra dan cepat punah
bagaikan
masa muda”
Nama
aslinya adalah Nizzamuddin Abu Muhammad Ilyas bin Yusuf. Lahir di Ganca (
Kirovabad ), Kaukus. Nizami hidup sekitar tahun 529-613 H / 1135-1217 M.
Semasa
hidupnya, ia mempunyai hubungan dekat bahkan mendapat perlindungan dari
sejumlah penguasa dan para putra mahkota. Meskipun begitu, dia hidup secara
sederhana dan memiliki watak yang terpuji.
Nizami
memiliki pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang seperti sejarah, sastra,
ilmu umum, serta astronomi dan musik juga menjadi kegemarannya. Nizami juga
ahli dalam masalah psikologi.
Meski
begitu, dunia menulis telah menjadi cinta di hidupnya. Dalam menulis karyanya,
Nizami banyak diilhami oleh penyair-penyair terlebih dahulu seperti Nasai dan
Firdaus.
Karya Nizami :
Makhzan al Asrar,
masnawi yang ditulis Nizami untuk pertama kali yang berisi ajaran tasawuf dan
filsafat
Tiga
buah karya puisi romantis
Setelah
Nizami meninggal, karyanya dibukukan dengan judul “Khamsah.”
Khamsah
berisi 5 rangkaian karangan, yaitu :
1.Makhzan
al Asrar ( Gudang Rahasia )
2.Laila
wa Majnun ( Laila majnun )
3.Khusrau
wa Sirin
4.Haft
Peykar ( 7 Bidadari )
5.Sikandar
( Iskandar ) – Namah / Eskandarnameh, sebuah epos gazal yang berkisah tentang
Iskandar Agung, karya ini adalah karya terakhirnya yang diselesaikan sebelum
dia meninggal.
Salah
satu dari 5 karangan diatas, yang paling populer kita dengar dan baca adalah
kisah Laila Majnun. Kisah tentang pemuda dari suku Bani Amir yang jatuh cinta
kepada Layla. Cinta mereka yang tak bisa bersatu hingga kematian menjemput
mereka.
Kisah cinta ini kemudian menginspirasi Shakespeare menulis “Romeo dan
Juliet” dan menginspirasi Rumi menulis Masnawi dan Diwani Syamsi Tabriz.
Karena
satu nama lebih baik daripada dua,
Satu
nama bisa dipakai untuk berdua,
Bila
kau tahu hakikat seorang pecinta,
Kau
akan menyadari bahwa ketunggalan harus meniadakan dirinya,
Untuk
musnah ke dalam pelukan kekasihnya.
Karena
orang bisa melihat cangkang kerang,
Bukan
mutiara yang dikandungnya.
Kalian
paham?
Nama
hanyalah cangkang luaran
Dan
aku lah cangkang itu.
Aku
adalah selubung,
Wajah
di dalamnya Layla belaka.
Meski
kita terpisahkan, disana kita satu adanya
Bila
tubuh-tubuh yang putus asa terpisah,
Jiwa-jiwa
bebas mengembara dan bercengkerama.
Aku
akan hidup abadi, dan
malaikat
maut sendiri tak lagi berkuasa mengendalikan jiwaku ini.
bersama
dirimu dalam kekekalan,
aku
hidup hanya bila kepadaku nafasmu kau tiupkan.
Waktu
akan musnah,
tetapi
tidak dengan cinta sejati.
Segalanya
mungkin bayangan dan angan-angan belaka,
tetapi
tidak dengan cinta.
Tungku
yang membakar adalah keabadian itu sendiri,
Tanpa
awalan dan akhiran.
Sa’di
Sa’di
lahir di Syiraz. Di usianya yang masih kecil, ia harus kehilangan ayahnya yang
bernama Muslihuddin. Selanjutnya ia dikirm ke Baghdad untuk menimba ilmu.
Selama di Baghdad ia berkenalan dengan tokoh-tokoh besar tasawuf seperti Syihab
ad-Din Abu Hafs Umar bin Abdullah as-Suhrawardi ( 1145-1234 ).
Setelah
beberapa tahun belajar di Bagdad, ia kemudian pulang ke tanah kelahirannya
Syiraz, hingga nama tempat ini melekat pada namanya “ Sa’di al-Syirazi”
Penyerbuan
bangsa Mongol ke Bagdad, membuat Sa’di memutuskan untuk pergi ke Mekkah.
Sa’di
melihat bagaimana kehancuran kota yang selama ini menjadi rumahnya. Kekejaman,
penindasan, perusakan terjadi atas kota Bagdad. Pembunuhan dan pemerkosaan
terjadi atas rakyat Baghdah. Dan khalifah dibunuh secara keji.
“Maka
langitpun mencurahkan hujan lebat darah keatas bumi,
dan
kebinasaan menyapu bersih kerajaan al-Musta’sim, khalifah orang mukmin
Ya
Muhammad! Apabila hari pengadilan datang
Angkatlah
kepala tuan
dan
Lihatlah
kesengsaraan umatmu ini”
( Syair Rintihan Kehancuran Bagdad - Sa’di )
Sa’di
pun mengembara dari kota ke kota mulai dari Makkah sampai ke Asia tengah. Mulai
dari India hingga ke Afrika Utara lalu menetap di Damaskus.
Hingga
setelah tahun 643 H / 1221 M, Sa’di akhirnya kembali ke kampung halaman untuk
kedua kalinya pada masa pemerintahan Atabeq ( gelar pejabat militer bani Seljuk
) Abu Bakar bin Sa’d.
Dan
mempersembahkan salah-satu karyanya yang terkenal yaitu Bustan ( kebun buah ).
Karya Sa’di :
Bustan (
Kebun Buah ), berupa kisah-kisah yang
indah dan melukiskan nilai-nilai luhur seorang muslim. Dalam kumpulan tulisan
ini Sa’di bersikap sebagai penyair, guru, da’i, dan moralis.
Gulistan
( Kebun Bunga ), satu tahun setelah
Bustan terbit Gulistan diterbitkan kemudian. Gulistan berupa prosa berisi kisah menarik, kata-kata mutiara, renungan pribadi yang
disana-sini diselingi dengan puisi anekdot, humor, dan nasihat spritual.
Gulistan
telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa.
Tentang Ketabahan
Cinta
menbuatmu tidak sabar dan selalu merasa terganggu.
Dengan keikhlasanmu itu
berarti kau telah meletakkan kepalamu di kaki-Nya
dan melupakan dunia.
Apabila
kekayaan tidak punya arti dalam pandangan Kekasihmu,
maka emas dan debu tidak
ada bedanya bagimu.
Dia selalu
ada dalam mata, apabila matamu tertutup, Dia akan hadir dalam fikiranmu.
Apabila Dia
menghendaki hidupmu, letakkanlah hidupmu pada tangan-Nya, apabila Dia
meletakkan pedang di atas kepalamu, kau jangan menghindar.
Cinta dunia
menerbitkan kebingungan dan sekaligus ketaatan, maka jangan heran apabila para
musafir dalam jalan Tuhan karam dalam Lautan Hakikat ini.
Dalam
mengingat Tuhan, mereka membelakangkan dunia;
mereka begitu terpikat oleh
Pembawa Piala (Saqi) tempat mereka menuangkan anggur.
Tidak ada
obat yang bisa menyembuhkan sakit mereka,
karena tidak satu orang pun yang
mengetahui penyakit mereka.
Gunung
hancur lebur disebabkan jerit rindu mereka;
kerajaan porak poranda karena ratap
tangis mereka.
Sedu sedan
mereka pada waktu fajar menyucikan kotoran mata mereka.
Siang dan malam mereka
tenggelam dalam lautan cinta.
Begitulah keadaan mereka sehingga tidak mengenal
siang dan malam.
Mereka jatuh
cinta kepada keindahan Penciptanya
sehingga mereka tidak memperdulikan
keindahan ciptaan-Nya.
Mereka minum anggur suci Yang Maha Esa
sehingga mereka
lupa masa kini dan masa datang.
Gulistan
“Seorang
raja yang tidak pernah menjalankan pemerintahan dengan adil bertanya tentang
ibadah yang sesuai dilakukan olehnya.
Seorang
lelaki yang taat beribadah menjawab,
“Yang paling baik dilakukan oleh tuan
ialah tidur setengah hari agar tidak dapat melakukan tindakan zalim buat
sementara waktu!”
Kulihat
orang zalim tidur sepanjang hari
Sungguh luar
biasa kataku dalam hati
‘kan lebih
baik lagi tidurnya itu
Dapat
merubah tabiat jeleknya.
Namun jika
dengan tidur sedikit saja
Lebih baik
dibanding waktu terjaga
Mati akan
lebih baik baginya
Daripada
berbuat buruk sepanjang hayatnya
Hafiz Asy-Syirazi
Tidak
seperti Sa’di yang senang mengembara ke berbagai negara, Hafiz sebaliknya tidak
pernah meninggalkan kota kelahirannya Syiraz.
Hafiz
Asy-Syirazi hidup sekitar 725-791 H / 1325-1389 M. Nama Lengkapnya Syams Ad-Din
Muhammad al-Hafiz. Gelar “Hafiz” pada namanya menjadi bukti bahwa dia adalah
seorang penghafal Al-Qur’an, sedangkan “Syirazi” mengacu pada kota
kelahirannya, Syiraz.
Hafiz
hidup dalam suasana kacau dan keras ditengah-tengah penguasa setempat yang
datang silih berganti. Juga disusul dengan kedatangan Timur Lenk dengan pasukannya
yang besar semakin mengancam negerinya.
Dalam
karya-karya puisinya sering menggambarkan suasana alam kota kelahirannya yang
indah dan terawat. Sementara syair-syair sufistiknya diilhami oleh Sanai,
Attar, Rumi, dan Sa’di.
Karya
Hafiz As-Syirazi, yaitu kumpulan-kumpulan puisi qasidah, masnawi, gazal,
rubaiyat, dan beberapa sajak lepas.
Wafat
pada tahun 1389 M dan dikuburkan di Syiraz.
1
Pipi bersimbah mawar, tudung molek
Kembang bumi, ah itu sudah cukup bagiku!
Rindang bayang cemara, yang nyusut dan ngembang
Di padang, Itu saja sudah cukup bagiku.
Aku bukan pencinta kemunafikan:
Dari segala kekayaan yang dibanggakan dunia
Hanya anggur secawan kujunjung tinggi
Dan itu sudah cukup bagiku.
Bagi mereka yang harum namanya sebab bijak
Adalah istana di sorga pahalanya
Tapi bagiku, pemabuk dan penadah rahmat Tuhan
Beri saja menara Anggur menjulang!
Di tepi sungai aku ‘kan duduk, beralas babut rumput
Hidup, di puncak nikmat, kubiarkan melenggang pergi
Dan hari-hari yang remeh ini tak kupeduli
Dan itu sudah cukup bagiku.
Lihat segala emas di pasar dunia
Lihat segala air mata yang disemburkan dunia
Tidakkah itu cukup bagi hatimu rindu?
Aku telah banyak kehilangan, namun banyak pula yang kudapat
Kumiliki cinta, kugenggam erat, apa lagi
Yang dapat kuperoleh? Kekayaanku adalah rasa nikmat
Bersahabat dengan dia, yang bibirnya merah merekah
Dan begitu berahi mengecup bibirku.
Kumohon jangan bawa hatiku telanjang
Dari rumah hinanya menuju sorga!
Walau langit dan bumi akan membuka gulungannya
Rohku akan terbang balik menuju rumahku
Dan di pintu kismet Hafiz pun terbaring
Tiada keluh di bibirnya – jiwanya bagai air jernih.
Sebuah lagu terdengar lalu lenyap dari telinganya
Dan itu sudah cukup bagiku
3
Kemurungan dan kegembiraan akan datang
Dengan bangga akan memamerkan rasa persaudaraannya
Tak beda milih yang satu di antara yang lainnya
Kelak kau akan tersiksa juga olehnya
Siapa tahu rahasia Tabir? Coba buka!
Sorga saja membisu dan bersama Tuhan
Menggenggam tirai itu erat-erat
Wahai pembual, hati-hatilah kau bicara
Walau hamba-hamba Tuhan kehilangan jalan dan sesat
Melalui derita akan diajarinya ia kearifan
Segala ampunan dan kasih sayang
Adalah kata-kata kosong tanpa makna
Pemabuk ini hanya inginkan anggur Telaga Kautsar
Dan Hafiz, lihat! Untukmu telah terhidang
Cawan bumi, rahmat pilihan dari Tuhan!
6
Tapi apa yang kauharapkan dariku
Aku ini orang mabuk, jangan harapkan dariku
Aku telah meneguk anggur dari cawannya
Sejak hari Alastu, sejak aku mengambil wuduk
Di telaga asyik masyuk
Lalu kutakbirkan empat kali
Kolong langit atas segala yang ada ini
Karena itu jika kau inginkan
Rahasia ketentuan yang menyebabkan aku linglung dan mabuk
Hidangi aku gelas putih cawan anggur cerlang
Hingga gunung menjadi lebih ringan dari nyamuk
Wahai Saqi, pemuja anggur
Biarlah mulutmu berbusa penebus nyawamu
Di taman penglihatanku kebunku tak menumbuhkan alam
Yang lebih indah dari duri di tengah bunga
Tidaklah tenteram hidup di bawah kolong langit ini
Tanpa Tuhan, tanpa anggur-Nya
Bagai sekuntum kembang layu terkulai
Disapu angin derita
Tuhan, Hafiz rindu kepada-Mu
Lebih dari nabi Sulaiman
Hafiz rindu pada-Mu walau tangannya
Tak mendapat apa-apa kecuali angin
Hafiz rindu kepada-Mu
Kembang bumi, ah itu sudah cukup bagiku!
Rindang bayang cemara, yang nyusut dan ngembang
Di padang, Itu saja sudah cukup bagiku.
Aku bukan pencinta kemunafikan:
Dari segala kekayaan yang dibanggakan dunia
Hanya anggur secawan kujunjung tinggi
Dan itu sudah cukup bagiku.
Bagi mereka yang harum namanya sebab bijak
Adalah istana di sorga pahalanya
Tapi bagiku, pemabuk dan penadah rahmat Tuhan
Beri saja menara Anggur menjulang!
Di tepi sungai aku ‘kan duduk, beralas babut rumput
Hidup, di puncak nikmat, kubiarkan melenggang pergi
Dan hari-hari yang remeh ini tak kupeduli
Dan itu sudah cukup bagiku.
Lihat segala emas di pasar dunia
Lihat segala air mata yang disemburkan dunia
Tidakkah itu cukup bagi hatimu rindu?
Aku telah banyak kehilangan, namun banyak pula yang kudapat
Kumiliki cinta, kugenggam erat, apa lagi
Yang dapat kuperoleh? Kekayaanku adalah rasa nikmat
Bersahabat dengan dia, yang bibirnya merah merekah
Dan begitu berahi mengecup bibirku.
Kumohon jangan bawa hatiku telanjang
Dari rumah hinanya menuju sorga!
Walau langit dan bumi akan membuka gulungannya
Rohku akan terbang balik menuju rumahku
Dan di pintu kismet Hafiz pun terbaring
Tiada keluh di bibirnya – jiwanya bagai air jernih.
Sebuah lagu terdengar lalu lenyap dari telinganya
Dan itu sudah cukup bagiku
3
Kemurungan dan kegembiraan akan datang
Dengan bangga akan memamerkan rasa persaudaraannya
Tak beda milih yang satu di antara yang lainnya
Kelak kau akan tersiksa juga olehnya
Siapa tahu rahasia Tabir? Coba buka!
Sorga saja membisu dan bersama Tuhan
Menggenggam tirai itu erat-erat
Wahai pembual, hati-hatilah kau bicara
Walau hamba-hamba Tuhan kehilangan jalan dan sesat
Melalui derita akan diajarinya ia kearifan
Segala ampunan dan kasih sayang
Adalah kata-kata kosong tanpa makna
Pemabuk ini hanya inginkan anggur Telaga Kautsar
Dan Hafiz, lihat! Untukmu telah terhidang
Cawan bumi, rahmat pilihan dari Tuhan!
6
Tapi apa yang kauharapkan dariku
Aku ini orang mabuk, jangan harapkan dariku
Aku telah meneguk anggur dari cawannya
Sejak hari Alastu, sejak aku mengambil wuduk
Di telaga asyik masyuk
Lalu kutakbirkan empat kali
Kolong langit atas segala yang ada ini
Karena itu jika kau inginkan
Rahasia ketentuan yang menyebabkan aku linglung dan mabuk
Hidangi aku gelas putih cawan anggur cerlang
Hingga gunung menjadi lebih ringan dari nyamuk
Wahai Saqi, pemuja anggur
Biarlah mulutmu berbusa penebus nyawamu
Di taman penglihatanku kebunku tak menumbuhkan alam
Yang lebih indah dari duri di tengah bunga
Tidaklah tenteram hidup di bawah kolong langit ini
Tanpa Tuhan, tanpa anggur-Nya
Bagai sekuntum kembang layu terkulai
Disapu angin derita
Tuhan, Hafiz rindu kepada-Mu
Lebih dari nabi Sulaiman
Hafiz rindu pada-Mu walau tangannya
Tak mendapat apa-apa kecuali angin
Hafiz rindu kepada-Mu
Sumber:
Puisi Hafiz al-Syirazi
Antonio, Muhammad Syafii.2012.Ensiklopedia Peradaban Islam Jilid 8 "Persia".Jakarta:TAZKIA Publishing.
Antonio, Muhammad Syafii.2012.Ensiklopedia Peradaban Islam Jilid 8 "Persia".Jakarta:TAZKIA Publishing.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah mengunjungi blog saya.
Silahkan tinggalkan komentar anda yang berhubungan dengan artikel.
No sara / pornografi.