“Tamban ( Hilsa Keele )” begitu nama ikan ini disebut oleh masyarakat kami. Ikan yang sejak
dahulu dikenal oleh para nenek moyang dan para orangtua kami sebagai
satu-satunya ikan yang kerap hadir di
meja makan. Ikan yang populer di kota kami dan jika menyebut namanya pasti tak
lupa orang-orang menambahkan nama kota kami. Seperti itulah kira-kira pendapat
kebanyakan orang. Memang, jika dibandingkan dengan ikan-ikan lainnya seperti : Ikan
Bawal, Ikan Kerapu, Ikan Talang, dan yang lainnya, Ikan Tamban bukan jenis ikan-ikan kelas mahal.
Apalagi jenis ikan yang memiliki daging dengan rasa lezat. Bukan sama sekali.
Ikan ini merupakan ikan yang murah harganya di tempat kami dari rata-rata ikan
yang ada.
Meminjam istilah “merakyat”, kira-kira istilah itu cocok
disandang oleh ikan tersebut. Seingat
saya sedari kecil hingga dewasa, Ikan Tamban tak pernah menjadi beban bagi
perekonomian sebuah rumah tangga. Tidak
seperti minyak yang harganya tak
stabil yang sering melonjak drastis atau harga daging yang menaik tajam. Harga Tamban
selalu selalu dan selalu stabil. Hanya terdengar sekali-kali harga ikan ini
menaik, itu pun dengan kenaikan harga yang masih dibatas wajar. Atau pun para
nelayan terpaksa menaikkan harganya dikarenakan cuaca yang buruk untuk melaut.
Tamban di tempat
kami banyak diperjual belikan. Di pasar-pasar ikan atau di kedai-kedai.
Tamban dalam keadaan segar atau sudah
dalam keadaan disalai. Tetapi, jenis kedua lah yang lebih dikenal yaitu ikan
tamban yang dimasak dengan proses disalai. Maka, kami menyebutnya dengan nama
ikan tamban salai.
Jika orang-orang
menjualkannya seperti biasa di pasar atau dijual dengan takaran per/kg, lain
halnya dengan para penjaja Tamban yang dijajakan oleh para lelaki paruh baya
dari kampung-kampung di kota kami. Mereka menjajakan Tamban dengan mengayuh
sepeda dan membawa sebuah keranjang dibelakangnya. Keranjang dari rotan
berbentuk persegi dengan sisi-sisi sudut nya yang melengkung. Di dalam
keranjang inilah diisi Ikan-Ikan Tamban. Sambil mengayuh sepeda, mereka akan
meneriakkan nama ikan tersebut bagai sebuah nada dalam sebuah lagu.
Nada yang
sedap didengar oleh telinga. Menawarinya
ke setiap rumah yang mereka lewati. Para penjaja Tamban menjualnya
dengan hitungan per/100 ekor ikan. Hitungan ini lebih murah harganya bagi
masyarakat kami dibandingkan dijual dengan takaran per/kg nya yang dijajakan di
pasar. Sayangnya, keranjang rotan yang dulu menjadi ciri khas para penjaja Tamban
kini telah musnah tergantikan dengan tempat ikan berbahan plastik. Padahal,
keranjang rotan ini memiliki sebuah daya tarik tersendiri.
Di
perayaan-perayaan besar seperti pernikahan, Tamban tak akan dihidangkan sebagai
makanan mewah, tak juga ditemukan di perayaan – perayaan besar keagamaan
seperti Idul Fitri dan Idul Adha ( kecuali olahan dari tamban ). Kita hanya menemukannya
terhidang di meja makan sehari-hari dalam bentuk disalai, digoreng, atau
digulai.
Namun, ada dua
jenis olahan istimewa dari Ikan Tamban di kota kami. Ikan ini menjadi lauk yang
tak boleh dipisahkan dengan makanan yang bernama Nasi Lemak ( beras yang
dimasak dengan santan kelapa, lengkuas, cengkeh, dan sebagainya). Ikan Tamban
Masak Pedas nama olahan dari masakan ini. Satu lagi olahan dari Tamban yaitu “Sambal Lengkong”
yaitu sambal bertekstur halus serta basah yang dibuat dengan cara mengukus Ikan
Tamban sampai matang. Lalu menghaluskan daging-daging ikan serta memisahkan
tulang-tulangnya. Dimasak dengan santan kelapa, cabai, bawang merah, lengkuas,
dan berbagai rempah lainnya. Hingga menghasilkan sebuah sambal yang memiliki
rasa manis, lemak, dan pedas. Sambal Lengkong biasanya dimakan dengan ketupat (
beras yang dimasak didalam daun kelapa berbentuk persegi ). Olahan Tamban
lainnya seperti dijadikan campuran kuah
Laksa / Lakse ( makanan yang berbahan dasar sagu yang disajikan dengan kuah
pedas ).
Tak kenal musim tak
putus kehadirannya ikan ini di kota kami. Para nelayan dapat menjaringnya di
laut setiap hari. Terkadang berhenti sejenak disebabkan oleh cuaca buruk serta
angin. Tamban menjadi lauk bagi kami kala pendapatan bulanan kami mulai
menipis.
Bagi mereka di
perantauan, Tamban adalah kerinduan untuk mengecap kembali cita rasa tanah
kelahirannya. Menjadi sumber rezeki bagi para penjajanya meski jarak yang
ditempuh untuk menjualnya tak sebanding dengan keringat, lelah, dan kehidupan yang mereka terima.
Sebuah catatan
Dabo Singkep, Mei
2017
urang dabo gek
ReplyDelete