Ada yang mengatakan asal usul Soto dari makanan Tionghoa Semarang.
Sebelum menganggukkan kepala, apa ada yang menanyakan dimana bekas-bekasnya ‘caudo’ itu, dan bagaimana mungkin
bisa menjadi makanan yang diterima oleh nasional Indonesia sekarang?
Memang boleh diakui bahwa makanan
kita sehari-hari banyak pengaruh dari masakan asal Tionghoa, tetapi satu
makanan nasional ini, baik namanya maupun resepnya, Soto Madura dan segala soto
pada umumnya, pasti bukan yang menyasar dari Tiongkok, karena boleh coba saja
mencarinya, dimanapun memang tidak ada dan bagaimanapun tidak pernah ada
disana.
Masakan Tionghoa pada umumnya
berasalkan dari pesisir selatan Tiongkok yang menyebar dengan kedatangan
Hoakiaw di Nusantara selama ratusan tahun belakangan ini. Dari Hokkian
dibawakan bakmi, dari Hakka dibawakan bakso, dari Kanton dibawakan cap-cai, dan
dari Hainan, kaum Muslim Utsul membawakan masakan asam manis. Hanya saja dari
Tiongkok tidak pernah ada masakan yang menggunakan rempah-rempah yang merupakan
bahan utamanya soto.
Lebih jauh mengenai soto,
terdapat sebuah penelitian yang berjudul “Menyantap
Soto Melacak Jao To” dari Ary Budiyanto dan Intan Kusuma Wardhani yang
mencoba memetakan sejarah dari makanan ini. Dikutip dari Lono Simatupang,
disebutkan bahwa soto berasal dari makanan China dalam dialek Hokkian yang
bernama “Cau Do.” Arti dari cau do sendiri adalah rerumputan jeroan atau jeroan
berempah.
Walaupun saat ini soto memiliki
isi yang lebih bervariasi baik berupa daging maupun jeroan, namun jika dilihat
dari asal katanya pada masa lalu makanan ini lebih banyak berisi jeroan.
Perubahan nama “Cau Do” menjadi “Soto” sendiri disebabkan karena semakin
dikenalnya makanan ini dan perubahan penyebutan kata tersebut menjadi lebih
mudah dan familiar bagi banyak orang.
Caudo melanda nusantara terutama
di pesisir Jawa setelah habisnya perang Diponegoro 1825-1830. Awalnya cau do
dikenal di Lamongan dan Kudus. Nah, jenis caudo ini bening karena mengambil
filsafat `Wening Ingati' atau
beningnya hati. Tapi lama- kelamaan kuah soto Kudus dan Soto Lamongan tidak
sebening di awalnya karena dapat ketambahan bumbu-bumbu ( terutama `poya'
terbuat dari udang tumbuk seperti ebi ).
Gerakan soto Kudus dan Lamongan
pada tahun 1932 adalah zaman pemogokan
buruh kereta api di Surabaya masuk ke beberapa kampung di Surabaya seperti Gundih,
Darmo, Waru, Ambengan, dan lain-lain. Dari situ lahirlah soto Waru, soto
Sulung, soto Ambengan, dan yang paling fenomenal adalah `Soto Madura'.
Soto Madura pada awalnya diracik
oleh peranakan Cina Surabaya, namun karena pembantu masaknya orang Madura dan
pembantu itu kemudian lepas dari majikannya kemudian mempopulerkan masakan itu,
lucunya di kemudian hari jarang yang membuat soto madura itu orang madura asli.
Kalau anda mampir makan di soto-soto madura pinggir jalan kebanyakan yang
menjualnya berasal dari Jawa Timur, bukan Madura. Malah juga banyak dari Solo
atau Semarang.
Setelah era soto di tahun 1880,
pada suatu perayaan capgomeh di Semarang, Kong Koan ( perkumpulan elite
peranakan ) mengundang ahli masak masakan cina untuk berlomba. Bahan dasar yang
digunakan itu mian (mie) berbahan dasar tepung terigu dan tepung beras, mifen
(bihun), mian xian (misoa), lumian (lomi), guotiao (kwetiau), juga dipake
ravioli alias bianshi yang kalau orang melayu menyebutnya Pangsit.
Selain bahan berbasis tepung
beras, lomba itu juga menyajikan perlombaan memasak jenis-jenis tim sum (dim
sum), seperti ruo bao (bapao), ruo zong (bacang), nunbing (lumpia). Saat itu
hasil perlombaan berlangsung yang memenangkan lomba untuk kategori bahan dasar
terigu dan tepung beras adalah peranakan dari Batavia dan pemenang kategori Tim
Sum adalah seorang ibu peranakan cina dari Bandung. Inilah kenapa sebabnya
makanan untuk kategori bahan dasar tepung terigu dan beras kelak di kemudian
hari dikuasai oleh Jakarta dan Tim Sum yang kemudian melahirkan jenis masakan
fenomenal bernama Siomay dikuasai Urang Bandung.
Menurut Dennys Lombard, dalam
bukunya “Nusa Jawa: Silang Budaya,”
asal mula Soto adalah makanan Cina bernama Caudo, pertama kali populer di
wilayah Semarang. Dari Caudo lambat laun menjadi Soto, orang Makassar
menyebutnya Coto, dan orang Pekalongan menyebutnya Tauto bahkan beberapa tempat
ada yang menyebutnya Sauto.
Antropolog dari Universitas
Gadjah Mada, Dr. Lono Simatupang, mengemukakan bahwa, soto merupakan campuran
dari berbagai macam tradisi. Didalamnya ada pengaruh lokal dan budaya lain. Mi
atau soun pada soto, misalnya, berasal dari tradisi China. China-lah yang
memiliki teknologi membuat mi dan soun, ujarnya.
Soto juga kemungkinan mendapat
pengaruh dari budaya India. Ada beberapa soto yang menggunakan kunyit. Pada
dasarnya yang kita sebut Soto itu adalah semacam sup kare ringan yang meluas di
Madurai dipertengahan wilayah Tamil Nadu. Sedangkan sumbernya sup kare ringan
tersebut, pada umumnya dikatakan asalnya dari daerah Nellai di Tirunelveli yang
162 Km diselatannya Madurai dekat Samudra Hindia diseberang Sri Lanka, disana
sup kare ringan tersebut namanya: Sothi.
Beda Sothi Madurai dengan Soto
Madura hanya dibahannya, karena Hindhu tidak makan daging sapi, maka Sothi
hanya sayuran yang lebih mendekati Lodeh yang merupakan asalnya lontong
cap-go-meh, kecuali Sothi yang juga disebut Light Yellow Curry dari Sri Lanka
itu mengandung ikan, dan yang ini dikenal sebagai Fish Sothi di Malaysia dan
Singapore.
Konon, di seluruh wilayah kota
Kudus, dan beberapa daerah sekitarnya bahkan di Pekalongan, ada larangan untuk
memotong sapi. Budaya ini adalah warisan budaya Sunan Kudus untuk menghormati
umat Hindu / Shiwa Budha Jawa yang menganggap sapi sebagai hewan suci, sehingga
tidak boleh dimakan. Walaupun budaya Hindu sudah hilang pengaruhnya sejak
kisaran 800 tahun yang lalu, kebiasaan tidak memakan sapi masih diwariskan
hingga sekarang. Warisan Hindu yang ada di wilayah Indonesia disimbolkan dengan
pilihan daging ayam dan kerbau. Mereka sendiri tidak suka menyantap sapi, namun
lebih suka menyantap daging kerbau. Alhasil, segalanya serba kerbau: sate
kerbau, pindang tetel daging kerbau, dan tentu saja soto/tauto daging kerbau.
Orang cina memiliki aturan dalam
makan, seperti, larangan makan daging kerbau, larangan menyisakan makan
terutama nasi. Aturan itu merupakn aturan lama yang sudah ditinggalkan oleh
orang Cina saat ini.
Bumbu-bumbu yang digunakan pun
bercita rasa Jawa, seperti penggunaan kemiri dan perasan jeruk limau sebagai
kondimen. Penghidangannya bisa dipilih, apakah langsung dicampur dengan nasinya
atau dipisah. Penyajian yang asli adalah dimana nasinya langsung dicampur
dengan soto, sesuai dengan selera Jawa yang selalu menyajikan nasi sebagai
makanan pokok.
Serbuk koya yang juga ditemukan di lontong cap go meh adalah budaya kuliner Tionghoa peranakan. Serbuk ini dibuat dari santan kelapa yang dikeringkan, berfungsi sebagai penyedap rasa dan penambah tekstur. Berbeda dengan soto ayam Lombok di Malang, koyanya disini sudah ditakar dan tidak biasa ditakar sendiri.
Irisan bawang putih yang
digoreng kering, juga merupakan jejak budaya Tionghoa. Cara memasak seperti ini
jelas merupakan selera Tionghoa, seperti ditemukan di masakan Tionghoa
Pontianak. Masakan Jawa biasanya menggunakan bawang merah, bukan bawang putih,
untuk digoreng kering dan digunakan sebagai kondimen.
Sejak dulu hingga saat ini,
makanan berkuah ini bukanlah sebuah makanan mewah yang dinikmati oleh kalangan
penguasa. Makanan ini lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah ke bawah
dengan dijajakan menggunakan pikulan pada masa lalu. Seiring perkembangan
waktu, pikulan tadi berubah menjadi gerobak. Aksesori serupa gerobak atau
pikulan ini hingga saat ini pun biasanya masih digunakan oleh beberapa warung
soto.
Walaupun pada mulanya dianggap
merupakan perkembangan dari sup jeroan dari China tetapi melihat perubahan soto
saat ini terutama perkembangan variannya pada banyak daerah, makanan ini telah
benar-benar diambil dan disesuaikan dengan lidah masing-masing daerah.
Penggunaan santan, koyah, tauge,
bihun, bawang goreng, kentang, dan beragam bahan lainnya merupakan hal yang
berbeda-beda di tiap daerah tergantung dengan selera lokal. Perbedaan inilah
yang justru menjadikan makanan ini menjadi sangat disukai oleh banyak kalangan
di seluruh Indonesia. Jadi varian soto apa kah yang Anda sukai?
Selamat Menikmati !
soto pulak...mantaap...blog aktif..
ReplyDelete